Senin, 07 Januari 2013

Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA
-->



A. Deskripsi Teori
1.      Metode Permainan
Mayke dalam Sudono (2000 : 3) mengemukakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktikkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Disinilah proses pembelajaran terjadi, melalui permainan memberikan pengalaman belajar pada peserta didik.
Belajar matematika melalui permainan dapat meningkatkan minat dan motivasi peserta didik serta menepis anggapan matematika itu sulit dan menyeramkan bahkan sebaliknya, belajar matematika itu mudah dan menyenangkan. Untuk itu, dituntut kreativitas pendidik dalam menyajikan/menyampaikan materi. Tak kalah pentingnya bagi orangtua agar turut berperan membantu anaknya belajar dengan cara yang menyenangkan.

2. Pembelajaran Matematika
Menurut Sri Rumini (2000: 59) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relative menetap, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan.
Ciri-ciri belajar menurut Sri Rumini (2000: 59-60) sebagai berikut:
1) Dalam belajar ada perubahan tingkah laku, baik tingkah laku yang dapat diamati maupun tingkah laku yang tidak dapat diamati secara langsung.
2) Dalam belajar, perubahan tingkah laku meliputi tingkah laku afektif, kognitif, psikomotor, dan campuran.
3) Dalam belajar, perubahan yang terjadi melalui pengalaman atau latihan.
4) Dalam belajar, perubahan tingkah laku menjadi sesuatu yang relatif menetap.
5) Belajar merupakan proses usaha, yang artinya belajar berlangsung dalam kurun waktu cukup lama.
6) Belajar terjadi karena interaksi dengan lingkungan. Maksudnya, dalam aplikasi kehidupan sehari-hari siswa menggunakan ketrampilan berhitung. Misalnya saja, saat interaksi dengan temannya di rumahbermain kelereng yang di dalamnya ada keterampilan berhitung yaitu perkalian.
Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 bab 1 pasal 1 ayat 20 “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar suatu lingkungan belajar”. Melalui proses tersebut diharapkan tercipta hubungan yang baik, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa juga dapat merasakan manfaat dari proses tersebut untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Pembelajaran matematika di kelas dipandang sebagai suatu proses aktif dan sangat di pengaruhi oleh apa yang sebenarnya ingin dipelajari anak.
Dari pandangan ini hasil belajar bukan semata-mata bergantung pada apa yang disajikan guru, melainkan dipengaruhi oleh interaksi antara berbagai informasi yang diminati kepada anak dan bagaimana anak mengolah informasi berdasarkan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.
Menurut Usman (1993: 4) belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.
Lebih lanjut, Usman (1993: 6) mengungkapkan bahwa mengajar pada prinsipnya adalah membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Dapat pula dikatakan bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran sehingga menimbulkan terjadinya proses belajar pada diri siswa. Dalam hal belajar mengajar matematika, perlu diketahui karakteristik matematika. Dengan mengetahui karakteristik matematika, maka seharusnya dapat pula diketahui bagaimana belajar dan mengajar matematika. Karakteristik matematika yang dimaksud adalah objek matematika bersifat
abstrak, materi matematika disusun secara hirarkis, dan cara penalaran matematika adalah deduktif. Objek matematika bersifat abstrak, maka belajar matematika memerlukan daya nalar yang tinggi. Demikian pula dalam mengajar matematika guru harus mampu mengabstraksikan objek-objek matematika dengan baik sehingga siswa dapat memahami objek matematika yang
diajarkan. Materi matematika disusun secara hirarkis artinya suatu topik matematika akan merupakan prasyarat bagi topik berikutnya. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu topik matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi proses belajar mengajar matematika tersebut.
Ini berarti proses belajar matematika akan terjadi dengan lancar bila belajar itu sendiri dilakukan secara kontinyu. Karena dalam belajar matematika memerlukan materi prasyarat untuk memahami materi berikutnya, maka dalam mengajar matematika guru harus mengidentifikasikan materi-materi yang menjadi prasyarat suatu topik mata pelajaran matematika.
3. Hasil Belajar Matematika
a. Hakikat Hasil Belajar
Hasil belajar berasal dari katan“ hasil “ dan “belajar’ hasil berarti hasil yang telah dicapai (Depdikbud, 1995 : 787 ). Sedangkan pengertian belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau lmu (Depdikbud, 1995 : 14 ). Jadi hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru. Prestasi dalam penilitian yang dimaksudkan adalah nilai yang diperoleh oleh siswa pada mata pelajaran matematika dalam bentuk nilai berupa angka yang diberikan oleh guru kelasnya setelah melaksanakan tugas yang diberikan padanya.
Darmansyah (2006:13) menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian terhadap kemampuan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah hasil penilaian terhadap kemampuan siswa setelah menjalani proses pembelajaran. Cece Rahmat ( dalam Zainal Abidin. 2004:1 ) mengatakan bahwa hasil belajar adalah “ Penggunaan angka pada hasil tes atau prosedur penilaian sesuai dengan aturan tertentu, atau dengan kata lain untuk mengetahui daya serap siswa setelah menguasai materi pelajaran yang telah diberikan. Nana Sujana ( 1989:9 ) belajar didefinisikan sebagai proses interaksional dimana pribadi menjangkau wawasan – wawasan baru atau merubah sesuatu yang lama.
Selanjutnya peranan hasil belajar menurut Nasrun Harahab ( dalam Zainal Abidin. 2004:2 )
yaitu: :
“ a. Hasil belajar berperan memberikan informasi tentang kemajuan belajar siswa setelah mengikuti PBM dalam jangka waktu tertentu.
 b. Untuk mengetahui keberhasilan komponen – komponen pengajaran dalam rangka mencapai tujuan.
c. hasil belajar memberikan bahan pertimbangan apakah siswa diberikan program perbaikan, pengayaan atau melanjutkan pada program pengajaran berikutnya.
d. Untuk keperluan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa yang mengalami kegagalan dalam suatu program bahan pembelajaran.
e. Untuk keperluan supervise bagi kepala sekolah dan penilik agar guru lebih berkompeten.
f. Sebagai bahan dalam memberikan informasi kepada orang tua siswa dan sebagai bahan dalam mengambil berbagai keputusan dalam pengajaran “.
Menurut Sri Rumini, bahwa belajar adalah proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan. Maka, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. hasil belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau nilai-nilai kecakapan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh siswa setelah siswa yang bersangkutan dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kecakapan nyata (aktual) yang meliputi aspek kognitif bukan kecakapan potensial. Hasil belajar ini dapat dilihat secara nyata berupa skor atau nilai setelah mengerjakan suatu tes. Tes yang digunakan untuk menentukan hasil belajar merupakan suatu alat untuk mengukur aspek–aspek tertentu dari siswa misalnya pengetahuan, pemahaman atau aplikasi suatu konsep.
b. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Menurut Sri Rumini dkk (2006: 42) proses belajar dan hasil belajar dipengaruhi oleh dua kelompok faktor, yaitu faktor yang yang berasal dari diri individu yang sedang belajar dan faktor yang berasal dari luar individu. Faktor yang terdapat di dalam individu dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor psikis dan faktor fisik. Yang termasuk faktor psikis antar lain, ialah kognitif, afektif, psikomotor, campuran, kepribadian sedangkan yang termasuk faktor fisik antara lain kondisi indera, anggota badan, tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh. Faktor psikis dan fisik ini, keadaannya ada yang ditentukan oleh faktor keturunan, ada yang oleh faktor
lingkungan, dan ada pula yang ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan.
Adapun faktor yang berasal dari luar individu meliputi hal sebagai berikut:
a) Faktor lingkungan alam
b) Faktor sosial ekonomi
c) Guru
d) Kegiatan Pengajaran (termasuk di dalamnya metode mengajar)
e) Kurikulum
f) Sarana dan prasarana
c. Hasil Belajar Matematika
Menurut Benyamin S. Bloom (via Saifuddin, 2005: 8) membagi kawasan belajar yang mereka sebut sebagai tujuan pendidikan menjadi tiga bagian yaitu kawasan kognitif, kawasan afektif dan kawasan psikomotor. Hasil belajar, secara luas tentu mencakup ketiga kawasan tujuan pendidikan tersebut. Ketiga kemampuan tersebut ( kognitif, afektif dan psikomotor) tentu diperoleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar. Jadi prestasi belajar matematika dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu dalam mata pelajaran matematika.
d. Strategi untuk Meraih Hasil Belajar
Strategi adalah cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai sesuatu. Dalam meraih hasil belajar diperlukan strategi agar hasil belajar meningkat. (Sri Rumini dkk, 2006: 42). Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah
1) Faktor yang yang berasal dari diri dalam individu yang terdiri dari duafaktor yaitu faktor psikis dan dan faktor fisik. Yang termasuk faktor psikis antara lain, ialah kognitif, afektif, psikomotor, campuran, kepribadian sedangkan yang termasuk faktor fisik antara lain kondisi indera, anggota badan, tubuh, kelenjar, syaraf, dan organ-organ dalam tubuh. Faktor psikis dan fisik ini, keadaannya ada yang ditentukan oleh faktor keturunan, ada yang oleh faktor lingkungan, dan ada pula yang ditentukan oleh faktor keturunan dan lingkungan. Faktor dalam diri tersebut harus dalam keadaan baik dan normal.
2) Faktor yang berasal dari luar meliputi faktor lingkungan alam, faktor ekonomi, guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan prasarana harusdisesuaikan dengan karakteristik dan perkembangan anak agar anak dapat menerima materi dengan mudah.


B. Kerangka Berpikir
Selama ini, masih banyak guru yang mendesain siswa untuk menghafal seperangkat fakta yang diberikan oleh guru. Seolah-olah guru sebagai sumber utama pengetahuan. Umumnya, pembelajaran didominasi oleh metode ceramah sehingga proses pembelajaran bersifat monoton dan siswa cenderung pasif. Hal itu mengakibatkan kurangnya partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Untuk dapat meningkatkan pemahaman dan prestasi siswa, guru harus
menciptakan proses pembelajaran yang menarik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memilih metode pembelajaran yang dapat member kesempatan siswa untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Metode permainan merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan memperagakan/mempraktikkan pengalaman belajar secara langsung, sehingga hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan,
tidak akan mudah dilupakan siswa.
Dengan metode ini juga, anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat. Pada pembelajaran Matematika dengan menggunakan metode bermain diharapkan hasil siswa dalam pembelajaran Matematika akan meningkat.

Sumpah Profesi Guru

PERLUKAH SUMPAH PROFESI BAGI GURU?
 Sumpah/Janji Guru Indonesia
Pasal 3
(1) Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
(2) Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.
(3) Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.
Pasal 4
(1) Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.
(2) Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok sebelum melaksanakan tugas.[1]

Menjadi guru adalah tugas yang mulia(begitu pikir saya ketika saya kecil)
Pernah terbesit dalam pikiran saya. Dokter mempunyai tugas yang mulia,Dokter,Anggota DPR,MPR,bahkan Presiden juga mempunyai tugas yang sangat mulia.Tetapi mengapa ketika keempatnya terjun dalam profesi masing-masing mereka harus disumpah dahulu??? Lha Guru???
Guru merupakan yang sangat menentukan kualitas tinggi rendahnya suatu pendidikan.Dalam UU  Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disitu telah dijelaskan secara jelas mengenai kedudukan,fungsi,tujuan,hak dan kewajiban guru.
Dalam UU tersebut tidak disinggung mengenai “sumpah profesi guru” .
Ya memang saya baru tahu guru itu sebelum menjalankan tugasnya sebagai seorang pengajar tidak disumpah terlebih dahulu.

Sebernarnya perlu tidak sumpah bagi guru?
Setahu saya saya pernah menemukan kasus seorang yang telah naik pangkat CPNS menjadi PNS mendatangani sebuah surat,apakah itu yang dimaksud dengan sumpah guru? Setahu saya itu cuma sumpah pegawai, bukan sumpah guru. Hanya saja di dalamnya sudah terimplikasi dg pekerjaan. Jadi berarti ketika seseorang sudah menjadi PNS secara otomatis mereka telah disumpah.
Tetapi apa gunanya sumpah kalo tidak dilaksanakan,toh sekarang nyatanya banyak orang yang disumpah dengan menggunakan kitab suci alquran tetapi mereka setelah menjalankan tugasnya tidak lagi mengingat sumpah yang telah mereka ucapkan.
Saya seorang guru tidak tetap (sedikit curhat) dan saya tidak pernah disumpah. Justru menurut saya sumpah itu tidak perlu karena ketika saya berdiri didepan kelas dalam hati saya bersumpah untuk mendidik dan mengajar anak-anak dari mereka tidak tahu menjadi tahu,dari tidak pintar menjadi pintar.
Boleh saya katakan kalau sumpah itu erat kaitanya dengan kode etik guru. Kode etik dalam ‘Profesi Keguruan’ diartikan bahwa ketentuan-ketentuan moral yang digunakan sebagai pedoman.
Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik bangsa.



[1]  Diunduh tanggal 13 Mei 2011

Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan

-->
Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan

Kita telah memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan. Para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).

Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.

Pendidikan di Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu;
(1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.

Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu;
(1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur.   Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu;
 (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma:
(1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.

Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.


Sumber :

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1999/01/220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.

Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.

Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.

Kesulitan Belajar Siswa

-->

Kesulitan belajar siswa
1.       pengertian kesulitan belajar
Kesulitan belajar merupakan suatu bentuk ganguan dalam satu atau lebih dari factor fisik atau psikis yang mendasar yang meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan atau tulisan yang dengan sendirinya muncul sebagai kemamppuan tak sempurna untuk mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca dan lain sebagainya.

2.      Faktor- faktor penyebab kesulitan belajar
a.       Internal ( faktro dari dalam diri manusia itu sendiri): faktor fisiologis ( fisik /jasmani ), faktor psikologis.
Faktor internal: kurang sehat, ada juga penyebab kesulitan belajar karena cacat tubuh. Intelegensi; anak normal (90-110), cerdas ( 110-140), genius (140 keatas) dan lemah mental ( kurang dari 90),mereka itu tergolong dari debit, embisit dan ediot. Golongan debit walaupun umur 25 tahun kecerdasannya seperti umur 12 tahun . Golongan embisit hanya mampu mencapai tingkat anak normal 7 tahun . Golongan ediot kecakapannya mampu mencapai tingkat anak normal umur 3 tahun. Bakat ; potensi atau kecakapan dasar yang dibawa sejak lahir. Minat ; Tidak adanya minat seseorang anak terhadap suatu pelajaran akan menimbulkan kesulitan belajar. Motivasi ; Sebagai factor  inner ( batin ) berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar.

b. Eksternal ( faktor dari luar manusia ) : non social ( keluarga / ekonomi ), social.
                 Faktor eksternal : Faktor keluarga, Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi keadaan mental anak. Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Orang tua yang tidak/kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya, mungkin acuh-tak acuh, tidak memperhatikan kemajuan belajar anak-anaknya akan menjadi penyebab  kesulitan belajar. Orang tua yang lemah, suka memanjakan anak, ia tidak mau anaknya bersusah payah belajar, menderita, berusaha keras, akibatnya anak tidak mempunyai kemampuan dan kemauan, bahkan sangat bergantung pada orang lain, hingga malas berusaha, malas menyampaikan tugas-tugas sekolah, hingga prestasinya menurun. Sifat hubungan orang tua dan anak sering dilupakan factor ini penting sekali dalam menentukan kemajuan anak. Orang tua merupakan contoh terdekat dari anak-anak, segala yang diperbuat orang tua tanpa disadari akan ditiru anak-anaknya. Faktor ekonomi keluarga, keadan ekonomi keluarga digolongkan dalam beberapa katagori : ekonomi yang kurang / miskin, kurangnya biaya, tempat belajar yang tidak baik. Aspek psikologi perkembangan dari kesulitan belajar, Dari aspek psikologi perkembangan, ada pola perkembangan yang bersifat umum dan ada yang bersifat individual. Kelambatan kematangan, kesulitan belajar dapat dipandandang sebagai kelambatan kematangan fungsi neurology tertentu, tiap individu memiliki laju perkembangan yang berbeda-beda, baik dalam segi motorik, kognetif maupun efektif. Anak kesulitan belajar tidak terlalu berbeda dengan dari anak yang tidak kesulitan belajar dan kelambatan kematangan ketrampilan tertentu dipandang sebagai sifat sementara. Anak-anak yang lebih muda dan kurang matang dalam suatu tingkat kelas di sekolah akan cendrung mengalami kesuliatan belajar yang lebuh berat dari pada anak-anak yang lebih tua di kelasnya.Tahapan-tahapan perkembangan, tahapan-tahapan perkembangan kognitif  hal ini erat kaitannya dengan kesulitan belajar di sekolah. Aspek-aspek stuktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu yaitu fungsi mental yang mencakup persepsi, pikiran symbol, penalaran dan pemecahan masalah. Tahapan-tahapan perkembangan kognetif : (1) tahap sensorik usia 0-2 tahun, (2) tahap praoperasional usia 2-7 tahun, (3) tahap kongrit operasional usia 7-11 tahun, (4) tahap operasional usia 11 ke atas. Implikasi teori perkembangan bagi kesulitan belajar, implikasi yang yang bermakna untuk memahami dan mengajar anak kesulitan belajar. Kemampuan kognitif dan kwalitatif berbeda dari orang dewasa, kemampuan kognitif berkembang menurut cara yang berurutan yang tidak dapat diubah. Sekolah hendaknya merancang pengalaman belajar untuk mempertinggi kemantapan perkembangan alami.

3.          Usaha – usaha mengatasi kesulitan belajar
a.    menetapkan atau memetakan lokasi kesulitan belajar, misalnya dengan cara membuat rata – rata nilai yang kamu peroleh pada setiap mata pelajaran, membuat grafik yang menggambarkan pelajaran mana yang sulit untuk kamu kuasai, dan merencanakan solusinya.
b.    Selanjutnya, bersama orang yang dipercaya kamu bisa mulai menganalisis perkembangan prestasi belajar
c.    Kamu harus berani menemui guru yang mengajar mata pelajaran tersebut, berdialog secara jujur dan terbuka tentang kesulitan belajar, dan mendapatkan kesepakatan tentang apa yang seharusnya dilakukan
d.   Mencari latar belakang penyebab kesulitan belajar bersama guru pembimbing
e.    Bersungguh – sungguh menetapkan hati untuk memecahkan masalah kesulitan belajar

4.         Jenis – jenis kesulitan belajar

a.           Learning disabilities (LD) : Ketidak mampuan seseorang yang mengacu pada gejala dimana anak tidak mampu balajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajarnya dibawah potensi intelektualnya. Kegagalan yang sering dialami anak LD adalah dalam hal pemahaman, penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berfikir menulis, berhitung dan ketrampilan social. Hal ini dapat dialami oleh siapa saja, mulai dari keterbelakangan mental rata-rat samapi yang berintelijensi tinggi.

Ciri –ciri learning disabilities : Daya ingatnya terbatas (relative kurang baik), sering melakukan kesalahan yang konsisten dalam mengeja dan membaca, lambat dalam mempelajari hubungan antara huruf dengan bunyi pengucapannya, bingung dengan operasionalisasi tanda-tanda matematika, biasanya kesulitan dalam mengurutkan angka secara benar, sulit dalam mempelajari ketrampilan baru, sangat aktif dan tidak bisa menyelasaikan tugas atau kegiatan dengan tuntas, bertindak tanpa berfikir terlebih dahulu, sulit konsentrasi, sering melanggar aturan yang ada, tidak mampu disiplin atau sulit merencakakan kegiatan sehari-hari, emosional, sering menyendiri, pemurung mudah tersinggung, cuek terhadap lingkungan,menolak bersekolah, tidak stabil dalam memegang alat-alat tulis, klacau dalam memahami hari dan waktu, kebingungan dalam membedakan jika diminta menunjukkan nama tanggal kiri atau kanan , belok kiri atau kanan.
Faktor-faktor penyebab learning desabilities : factor keturunan (genetik) dan gangguan koordinasi.

b.           Underachiever : Seseorang dalam melakukan kegiatan banyak berkaitan dengan kemampuan yang ia miliki. Kemampuan tinggi, maka kecendrungan prestasi seseorang akan tinggi pula, Underachievement merupakan suatu fenomena manusia yang universal dan menjadi ciri khas seorang individu.

Ada tiga macam siswa berprestasi di bawah kemampuannya :
1. Siswa berprestasi dibawah kemampuannya yang kronis ( chronic underachiever )
2. Siswa berprestasi dibawah kemampuannya yang situasional ( situational underachiever )
3. Siswa berprestasi dibawah kemampuannya yang tersembunyi ( hidden underachiever )

Siswa berprestasi kurang secara total untuk seluruh bidang studi, siswa berprestasi kurang secara persial untuk gejalanya hanya sebagian saja dari variabel kemampuan intelektual maupun prestasi. Prestasi di bawah kemampuan merupakan suatu kondisi adanya ketimpangan antar prestasi akademik seseorang dengan kemampuan intelektual yang dimilikinya.

Ciri-ciri underachiever : Lebih banyak mengalami kekecewaan dan mampu mengontrol diri terhadap kecemasannya, kurang mampu menyesuaikan diri dan kurang percaya pada diri sendiri, kurang mampu mengikuti otoritas, kurang mampu dalam penerimaan social, kegiatanya kurang berorientasi pada akademik dan social, lebih banyak mengalami konflik dan ketergantungan, sikap negatif terhadap sekolah, kurang berminat dalam membaca dan menghitung, kurang mampu menggunakan waktu luang, menunjukkan gejala psikotik dan neorotik.

Faktor-faktor penyebab Underachiever : Rendahnya dukungan orang tua, kebiasaan belajar, lingkungan belajar.

c.          Slow learner : Siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

Ciri-ciri SlowLearner : Perhatian dan konsentrasi singkat, reaksinya lambat, kemampuan terbatas untuk mengerjakan hal-hal yang abstrak dan menyimpulkan, kemampuan terbatas dalam menilai bahan yang relevan, kelambatan dalam menghubungkan dan mewujudkan ide dengan kata-kata, gagal mengenal unsur dalam situasi baru, belajar lambat dan mudah lupa, berpandangan sempit, tidak mapu menganalisa, memecahkan dan berfikir kritis.
Faktor-faktor penyebab Slow learner : menggambarkan adanya sesuatu yang kurang sempurna pada pusat susunan syaratnya.